TB adalah penyakit
yang telah lama dikenal oleh masyarakat, Penyakit tak pernah mengenal kaya dan
miskin, pria dan wanita serta yang tua maupun yang muda bahkan dimanapun dan
kapanpun kita berada. Bahkan WHO
menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9
milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. dan di
Indonesia sendiri Hingga
triwulan pertama 2013 tercatat angka notifikasi kasus semua kasus baru mencapai
132 per 100 ribu penduduk dan BTA positif sebesar 82 per 100 ribu penduduk.
Penyebab
dari penyakit ini adalah Bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini dapat ditularkan secara langsung oleh
penderita TB kepada orang-orang disekitarnya. Dulu penyakit TB disebut sebagai penyakit TBC
karena Mycobacterium Tuberculosis ini hanya menyerang satu bagian tubuh saja
yakni paru-paru, namun seiring berjalannya waktu pada penelitian lainnya
ditemukan bahwa bakteri ini dapat juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti,
otak, tulang, kalenjar getah bening, selaput jantung dan kulit.
Penyakit
TB dapat disembuhkan dengan pengobatan yang teratur, dan adekuat. Tipe
pengobatan dari penyakit ini adalah tipe pengobatan jangka panjang yang memakan
waktu 6 -8 bulan dan pasien diwajibkan untuk meminum obat dalam jumlah yang
tidak sedikit, dengan waktu yang intensif serta pasien juga diwajibkan untuk
melakukan pemeriksaan dahak setiap hari sehingga dapat menyebabkan pasien merasa
jenuh, tidak patuh, dan putus asa dengan penyakit yang diidapnya. Selain itu,
Hal ini juga dapat menimbulkan adanya kegagalan dalam pengobatan TB karena
pasien tidak berobat secara teratur dan jika pasien tidak berobat secara
teratur, bakteri tersebut akan menjadi kebal terhadap obat-obatan yang
diberikan.
Oleh
karena itu, dukungan keluarga dan dukungan dari lingkungan sekitarnya (sosial) sangat
berperan penting akan kesembuhan pasien TB. Dukungan keluarga ini dapat berupa
dukungan informasi, dukungan instrument, dukungan emosi dan dukungan
penghargaan.
Dengan dukungan yang positif secara terus menerus
dapat mempengaruhi aspek psikologis pada pasien TB yakni efikasi diri yang
positif berupa keyakinan pasien untuk sembuh dari penyakit tersebut amat kuat
sehingga melahirkan kepatuhan pasien dalam berobat secara rutin dan intensif,
yang dimana pengobatan intensif dan rutin dapat membuat status kesehatan pasien
meningkat dan Dengan meningkatnya status kesehatan pasien TB berarti kualitas
hidup pasien juga semakin meningkat.
Kualitas
hidup dari pasien TB dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjalani aktivitas
kehidupan sehari-harinya seperti belajar, bekerja, mengurus diri sendiri,
berinteraksi dengan orang lain, dan sebagainya.
Selain
itu, dukungan lain yang juga ikut berperan dengan kesembuhan penderita TB
adalah dukungan sosial seperti teman, kekasih, dan tetangga juga diperlukan.
Dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh pasien TB maka hal tersebut
akan mempengaruhi perilaku individu seperti penurunan rasa cemas, rasa tidak
berdaya, dan putus asa sehingga akhirnya dapat meningkatkan status kesehatannya.
Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Nita yunianti ratnasari
dimana dari 50 responden, persentase peningkatan kualitas hidup dari pasien TB
sebanyak 80% karena adanya dukungan social mereka terima.
Akan
tetapi, hal ini sangat berbanding terbalik dari apa yang diharapkan. Sebagian
Masyarakat belum bisa menerima kehadiran penderita TB di tengah-tengah mereka
dan parahnya lagi keluarga dari penderita sendiri merasa malu dan takut
berdekatan, jika ada anggota keluarganya yang mengidap penyakit tersebut,
dimana yang seharusnya mereka menjadi pendukung tapi malah menjadi “boomerang”
bagi pasien TB itu sendiri. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya sikap
berhati-hati secara berlebihan. Misalnya mengasingkan penderita, enggan
mengajaknya berbicara, kalau dekat dengan penderita anggota keluarga yang
bersangkutan akan menutup hidung dan sebagainya.
Bahkan
sebagian masyarakat masih ada yang memandangan
bahwa penyakit TB adalah penyakit menular, guna-guna/teluh penyakit keturunan
dan sulit diobati, sehingga penderita TB Paru sering mendapat perlakuan
diskriminasi di lingkungan sekitar. Berbagai tindakan diskriminasi diterima
oleh pasien TB Paru oleh tetangganya berupa dihindari, tidak diajak berbicara
karena takut penyakitnya pindah dan dipandang secara sinis oleh tetangga
sekitar.
Secara
psikologi, bagi pasien yang mendapat perlakuan diskriminasi seperti ini akan
menimbulkan stressor tersendiri berupa perasaan tidak berguna dalam masyarakat,
sehingga memutuskan untuk berusaha menghindar dan menutup dirinya dari dunia
luar, berusaha menjauh dari orang-orang disekitarnya karena takut mereka akan
menularkan penyakit ini kepada orang-orang yang disayanginya.
Maka
dari itu perilaku diskriminasi seperti ini perlu dihindari demi membantu
pengobatan dan kesembuhan para penderita TB karena bagaimanapun juga Penderita
TB juga manusia sosial yang memiliki perasaan yang membutuhkan interaksi dan
sosialisasi antar sesama, yang membutuhkan ‘support’ dari orang-orang yang ada
disekitarnya agar mampu bertahan dalam kejenuhan selama pengobatan dan tatapan
sinis orang-orang yang bisa menerima mereka.
Oleh karena
itu, Dukungan keluarga dan dukungan social lainnya ini diharapkan dapat
membangkitkan semangat pasien untuk selalu berusaha mencapai kesembuhannya.
Seperti salah satu tugas keluarga dalam memberikan perawatan kepada anggota
keluarga yang sakit, maka seharusnya keluarga dapat menjalankan tugas keluarga
tersebut untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Dan untuk
petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat awam
tentang penyakit TB, penularan, pencegahan dan pengobatannya. Sehingga dapat
mengubah persepsi dari masyarakat tentang penyakit ini.