Selasa, 25 Maret 2014

PSIKOLOGI KESEHATAN -TULISAN ILMIAHKU "peduli penderita TB"



TB adalah penyakit yang telah lama dikenal oleh masyarakat, Penyakit tak pernah mengenal kaya dan miskin, pria dan wanita serta yang tua maupun yang muda bahkan dimanapun dan kapanpun kita berada.  Bahkan  WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. dan di Indonesia sendiri Hingga triwulan pertama 2013 tercatat angka notifikasi kasus semua kasus baru mencapai 132 per 100 ribu penduduk dan BTA positif sebesar 82 per 100 ribu penduduk

Penyebab dari penyakit ini adalah Bakteri  Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini  dapat ditularkan secara langsung oleh penderita TB kepada orang-orang disekitarnya.  Dulu penyakit TB disebut sebagai penyakit TBC karena Mycobacterium Tuberculosis  ini hanya menyerang satu bagian tubuh saja yakni paru-paru, namun seiring berjalannya waktu pada penelitian lainnya ditemukan bahwa bakteri ini dapat juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti, otak, tulang, kalenjar getah bening, selaput jantung dan kulit. 

Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan yang teratur, dan adekuat. Tipe pengobatan dari penyakit ini adalah tipe pengobatan jangka panjang yang memakan waktu 6 -8 bulan dan pasien diwajibkan untuk meminum obat dalam jumlah yang tidak sedikit, dengan waktu yang intensif serta pasien juga diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan dahak setiap hari sehingga dapat menyebabkan pasien merasa jenuh, tidak patuh, dan putus asa dengan penyakit yang diidapnya. Selain itu, Hal ini juga dapat menimbulkan adanya kegagalan dalam pengobatan TB karena pasien tidak berobat secara teratur dan jika pasien tidak berobat secara teratur, bakteri tersebut akan menjadi kebal terhadap obat-obatan yang diberikan. 

Oleh karena itu, dukungan keluarga dan dukungan dari lingkungan sekitarnya (sosial) sangat berperan penting akan kesembuhan pasien TB. Dukungan keluarga ini dapat berupa dukungan informasi, dukungan instrument, dukungan emosi dan dukungan penghargaan. 

Dengan  dukungan yang positif secara terus menerus dapat mempengaruhi aspek psikologis pada pasien TB yakni efikasi diri yang positif berupa keyakinan pasien untuk sembuh dari penyakit tersebut amat kuat sehingga melahirkan kepatuhan pasien dalam berobat secara rutin dan intensif, yang dimana pengobatan intensif dan rutin dapat membuat status kesehatan pasien meningkat dan Dengan meningkatnya status kesehatan pasien TB berarti kualitas hidup pasien juga semakin meningkat.

Kualitas hidup dari pasien TB dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-harinya seperti belajar, bekerja, mengurus diri sendiri, berinteraksi dengan orang lain, dan sebagainya.

Selain itu, dukungan lain yang juga ikut berperan dengan kesembuhan penderita TB adalah dukungan sosial seperti teman, kekasih, dan tetangga juga diperlukan. Dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh pasien TB maka hal tersebut akan mempengaruhi perilaku individu seperti penurunan rasa cemas, rasa tidak berdaya, dan putus asa sehingga akhirnya dapat meningkatkan status kesehatannya. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Nita yunianti ratnasari dimana dari 50 responden, persentase peningkatan kualitas hidup dari pasien TB sebanyak 80% karena adanya dukungan social mereka terima.

Akan tetapi, hal ini sangat berbanding terbalik dari apa yang diharapkan. Sebagian Masyarakat belum bisa menerima kehadiran penderita TB di tengah-tengah mereka dan parahnya lagi keluarga dari penderita sendiri merasa malu dan takut berdekatan, jika ada anggota keluarganya yang mengidap penyakit tersebut, dimana yang seharusnya mereka menjadi pendukung tapi malah menjadi “boomerang” bagi pasien TB itu sendiri. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya sikap berhati-hati secara berlebihan. Misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajaknya berbicara, kalau dekat dengan penderita anggota keluarga yang bersangkutan akan menutup hidung dan sebagainya.

Bahkan sebagian masyarakat masih ada  yang memandangan bahwa penyakit TB adalah penyakit menular, guna-guna/teluh penyakit keturunan dan sulit diobati, sehingga penderita TB Paru sering mendapat perlakuan diskriminasi di lingkungan sekitar. Berbagai tindakan diskriminasi diterima oleh pasien TB Paru oleh tetangganya berupa dihindari, tidak diajak berbicara karena takut penyakitnya pindah dan dipandang secara sinis oleh tetangga sekitar.

Secara psikologi, bagi pasien yang mendapat perlakuan diskriminasi seperti ini akan menimbulkan stressor tersendiri berupa perasaan tidak berguna dalam masyarakat, sehingga memutuskan untuk berusaha menghindar dan menutup dirinya dari dunia luar, berusaha menjauh dari orang-orang disekitarnya karena takut mereka akan menularkan penyakit ini kepada orang-orang yang disayanginya.

Maka dari itu perilaku diskriminasi seperti ini perlu dihindari demi membantu pengobatan dan kesembuhan para penderita TB karena bagaimanapun juga Penderita TB juga manusia sosial yang memiliki perasaan yang membutuhkan interaksi dan sosialisasi antar sesama, yang membutuhkan ‘support’ dari orang-orang yang ada disekitarnya agar mampu bertahan dalam kejenuhan selama pengobatan dan tatapan sinis orang-orang yang bisa menerima mereka.

Oleh karena itu, Dukungan keluarga dan dukungan social lainnya ini diharapkan dapat membangkitkan semangat pasien untuk selalu berusaha mencapai kesembuhannya. Seperti salah satu tugas keluarga dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, maka seharusnya keluarga dapat menjalankan tugas keluarga tersebut untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Dan untuk petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat awam tentang penyakit TB, penularan, pencegahan dan pengobatannya. Sehingga dapat mengubah persepsi dari masyarakat tentang penyakit ini.

Senin, 24 Maret 2014

MY ESSAY: Pengaruh Depresi Ibu Hamil terhadap Tumbuh Kembang Anak

Pengaruh Depresi Ibu Hamil terhadap Tumbuh Kembang Anak 

Masa Kehamilan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang sangat didambakan, membayangkan sosok bayi yang lucu dalam buaian, membelai jari jemari kecil nan mungil serta memberikan si buah hati ASI ekslusif sebagai bukti cinta kasihnya. Namun terkadang selama periode kehamilan, ibu hamil justru merasa sedih, seperti tertekan, takut, stress, sedih bahkan mungkin putus asa. Ironisnya lagi kejadian wanita hamil yang merasakan depresi, stress, dan kecemasan selama mengandung bahkan menimpa 1 dari 4 wanita hamil. Depresi saat kehamilan, merupakan gangguan mood. Dimana Gangguan mood merupakan kelainan biologis yang melibatkan perubahan kimia pada otak. Saat kehamilan, perubahan hormon bisa mempengaruhi kimia otak yang berhubungan dengan depresi dan gelisah. 

Hal ini juga dapat disebabkan oleh situasi yang sulit, yang akhirnya menimbulkan depresi. Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan termasuk depresi, selain berdampak pada ibu hamil juga bisa berimplikasi atau berpengaruh tidak baik terhadap kondisi kesehatan janin yang ada di dalam kandungan karena bayi dalam rahim sang Ibu, juga mengikuti rutinitas yang dilakukan ibunya, kemudian mengambil makanan dari apa yang dikonsumsi ibunya melalui plasenta, ikut merasakan apa yang dirasakan ibunya dan keterkaitan antara depresi ibu terhadap tumbuh kembang anak ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Tiffani Field, Ph. D dari Universitas of Miami Medical School, dimana berdasarkan penelitian yang sudah ia lakukan selama 20 tahun. Ia menemukan anak yang dilahirkan oleh ibu yang mengalami depresi berat selama kehamilan akan memiliki kadar hormon stres tinggi, aktivitas otak yang peka terhadap depresi menunjukkan sedikit ekspresi, dan mengalami gejala depresi lain, seperti sulit makan dan tidur. 

Ditambah lagi dengan penelitian lain yang dilakukan oleh John Hopkins, Blooberg School of Public Health. Menurutnya, ibu yang selama masa kehamilan mengalami depresi, beresiko melahirkan anak yang cenderung bertubuh pendek. Penelitian ini dilakukan terhadap sejumlah ibu dan bayi dalam waktu empat tahun. Sebanyak 17% ibu dari 6.550 ibu yang diteliti mengalalami depresi selama kehamilan hingga paska persalinan. Hasilnya setelah anak berusia empat tahun, hampir 50% anak memiliki tinggi badan di bawah rata-rata tinggi badan anak seusianya. 

Hal ini dikarenakan Saat ibu mengalami depresi, maka ibu mengalami kesulitan memberikan nutrisi yang baik kepada bayinya. Khususnya untuk masalah menyusui. Ibu yang depresi akan sulit memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Inilah yang menjadi faktor utama penghambat pertumbuhan anak dalam jangka panjang Oleh karena itu, untuk para wanita yang sedang hamil, jadikanlah masa hamil sebagai pengalaman yang menyenangkan dalam hidup dengan selalu konsultasi dengan para ahli kandungan, makan makanan yang sehat, cukup minum air, mengupayakan selalu dapat tidur dengan baik dan melakukan senam bagi ibu hamil. Disamping itu juga melakukan terapi kejiwaan supaya terhindar dari depresi, lebih meningkatkan keimanan dan tentunya Suami dan keluarga pun harus berperan aktif dalam membantu penyembuhan depresi pada sang Ibu. Dukungan dari mereka akan besar manfaatnya untuk menciptakan mood yang baik bagi ibu dan janinnya, Sehingga pada saatnya nanti sang ibu dapat melahirkan anak–anak dengan kualitas mental dan fisik yang baik serta berkualitas.